Senin, 09 Januari 2012

Manusia Dan Keindahan



Ahadiah Akrima
10511400
1 PA 09





Manusia dan Keindahan

                Kata keindahan berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek dan sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah ialah segala hasil seni, pemandangan alam, manusia, tatanan, rumah, alat-alat rumah tangga, suara, warna dan sebagainya. Kawasan keindahan bagi manusia sangat luas, seluas keanekaragaman manusia dan sesuai pula dengan perkembangan peradaban teknologi, sosial, dan budaya. Karena itu, keindahan dapat dikatakan bahwa keindahan itu bagian dari hidup manusia. Keindahan tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dimanapun, kapanpun dan siapa saja dapat menikmati keindahan.
                Keindahan adalah identik dengan kebenaran. Keindahan kebenaran dan kebenaran adalah keindahan. Keduanya mempunyai nilai yang sama yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah. Yang tidak mengandung kebenaran berarti tidak indah. Karena itu tiruan lukisan Monalisa tidak indah, karena dasarnya tidak benar. Sudah tentu kebenaran disini bukan kebenaran ilmu, melainkan kebenaran menurut konsep seni. Dalam seni, seni berusaha memberikan makna sepenuh-penuhnya mengenai objek yang diungkapkan.
                Keindahan juga bersifat universal, artinya tidak terikat oleh selera perseorangan, waktu dan tempat, selera mode, kedaerahan atau local.
                Menurut The Liang Gie dalam bukunya “Garis Besar Estetika”, menurut asal katanya, dalam bahasa inggris keindahan itu diterjemahkan dengan kata “beautiful” dalam bahasa perancis “beau” sedang italia dan spanyol “bello” berasal dari kata latin “bellum”, akar katanya adalah “bonum” yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi “bonellum” dan terakhir diperpendek sehingga ditulis “bellum”.
                Menurut cakupannya orang harus membedakan antara keindahan sebagai suatu kwalita abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah. Untuk perbedaan ini dalam bahasa Inggris sering dipergunakan istilah beauty (keindahan) dan the beautiful (benda atau hal yang indah). Dalam pembahasan filsafat yang kedua pengertian itu kadang-kadang dicampuradukkan saja. Disamping itu terdapat pula perbedaan menurut luasnya pengertian.
                 Keindahan dala arti luas merupakan pengertian semula dari bangsa yunani dulu yang didalamnya tercakup pula kebaikan. Plato misalnya meneybut tentang watak yang indah dan hokum yang indah. Sedang Aristoteles merumuskan keindahan sebagi sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Orang yunani dulu juga berbicara buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Tapi bangsa yunani jua mengenal pengertian keindahan dalam arti estetis yang disebutnya ‘symmetria’ untuk keindahan berdasarkan penglihatan (misalnay pada karya pahat dan arsitektur) dan harmonia untuk keindahan berdasarkan pendengaran (musik).
                Kenidahan dalam arti estetis murni menyangkut pengelaman estetis dari seseorang dalam hubungannya segala sesuatu yang dicerapnya. Sedang keindahan dalam arti terbatas lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dicerapnya dengan penglihatan, yakni berupa keindahan dari bentuk dan warna.
                Salah satu mencari ciri-ciri umum yang ada pada semua benda yang dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kwalita hakiki itu dengan penegrtian keindahan. Jadi keidahan pada dasarnya adalah sejumlah kwalita pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. Kwalita yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkuan (symmetry), keseimabangan (balance), dan perlawanan (contrast).
                Dari ciri itu dapat disimpulkan, bahwa keindahan tersusun dari berbagai keselarasan dan kebaikan dari garis, warna, bentuk dan kata-kata. Adapula yang berpendapat bahwa keindahan adalah suatu kumpulan hubungan-hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara benda itu dengan si pengamat.
                Keindahan dapat dinikmati menurut selera seni dan selera biasa. Keindahan yang didasarkan pada selera seni didukung oleh faktor kontemplasi dan ekstansi. Kontemplasi adalah dasar dari dalam diri manusia untuk menyatakan, merasakan dan menikmati sesuatu yang indah. Apabila kedua dasar ini dihubungkan dengan bentuk diluar diri manusia, maka akan terjadi penilaian bahwa sesuatu itu indah. Sesuatu yang indah itu memikat atau menarik perhatian orang yang melihat, mendengar. Bentuk diluar diri manusia itu berupa karya budaya yaitu karya seni lukis, seni suara, seni tari, seni sastra, seni drama atau film, atau berupa ciptaan Tuhan misalnya pemandangan alam, bunga warna-warni dan lain-lain.
                Apabila kontemplasi dan ekstansi itu dihubungkan dengan kreativitas, maka kontemplasi itu faktor pendorong untuk menciptakan keindahan, sedangkan ekstansi itu merupakan faktor pendorong untuk merasakan dan menikmati keindahan. Karena derajat kontemplasi dan ekstansi itu berbeda-beda antara setiap manusia, maka tanggapan antara keindahan karya seni itu indah, tetapi orang lain mengatakan karya seni itu kurang/tidak indah, karena selera seni berlainan.
                Bagi seorang seniman selera seni lebih dominan dibandingkan dengan orang bukan seniman. Bagi orang bukan seniman mungkin faktor ekstansi lebih menonjol. Jadi, ia lebih suka menikmati karya seni dari pada menciptakan karya seni. Dengan kata lain, ia hanya mampu menikmati keindahan tetapi tidak mampu menciptakan keindahan.
                Keindahan itu pada dasarnya adalah alamiah. Alam ciptaan Tuhan ini berarti bahwa keindahan itu ciptaan Tuhan. Alamiyah artinya wajar, tidak berlebihan tidak pula kurang. Kalau pelukis melukis wanita lebih cantik dari keadaan sebenarnya, justru tidak indah. Bila ada pemain drama yang berlebih-lebihan misalnya marah meluap-luap padahal masalahnya kecil, atau Karena kehilangan sesuatu yang tidak berharga kemudian menangis meraung-raung, itu berarti tidak indah.
                Pengungkapan keindahan dalam karya seni didasari oleh motivasi tertentu dan denga tujuan tertentu pula. Motivasi itu dapat berupa pengalaman atau kenyataan mengenai penderitaan hidup manusia, mengenai kemerosotan moral, mengenai perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, mengenai keagungan Tuhan, dan banyak lagi lainnya. Tujuannya tentu saja dilihat dari segi nilai kehidupan manusia, martabat manusia, kegunaan bagi manusia secara kodrati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar